Senin, 12 Januari 2015

Di Antara Tiga Inti Kemahasiswaan

Dalam kehidupan sehari-hari sebagai mahasiswa, seringkali kita dituntut oleh orang tua sesuatu yang hampir mustahil untuk dilakukan. Seringkali orang tua menuntut kita bukan hanya berprestasi di bidang akademik, namun juga aktif di kehidupan berorganisasi dan juga aktif bersosialisasi dengan semua orang. Pada kenyataannya, sering kali orang tua tidak memahami betapa hal itu sebenarnya hampir mustahil untuk dilakukan.

Permasalahannya, sebagai seorang mahasiswa, waktu 24 jam dalam sehari sangatlah tidak mencukupi untuk mencapai ketiga hal tersebut, prestasi akademik, keaktifan berorganisasi dan juga bersosialisasi. Ibaratkan sama dengan Impossible Trinity dalam ilmu Ekonomi yang mencantumkan bahwa dalam praktek menerapkan fixed exchange rate, negara tidak bisa mencapai tiga tujuan pokok sekaligus dan harus ada satu yang dikorbankan (Mundell-Fleming, 1960), Impossible Trinity juga berlaku dalam kehidupan bermahasiswa, sangat jarang mahasiswa yang berhasil mencapai ketiga hal tersebut.
Prestasi Akademik
Hal yang paling sering dituntut oleh orang tua adalah agar anak-anaknya mencapai prestasi akademik yang setinggi-tingginya. Tidak jarang anak-anak dituntut untuk mencapai cum laude, atau bahkan summa cum laude. Yang tidak diketahui oleh orang tua adalah betapa banyak waktu yang harus diluangkan oleh seorang mahasiswa untuk belajar agar dapat mencapai prestasi tersebut. Memang, tidak pelak lagi tugas dari gelar siswa dari kata mahasiswa yang kita sandang adalah belajar. Maka dari itu, secara subjektif, tugas dari seorang mahasiswa yang paling pokok adalah mencapai prestasi akademik setinggi-tingginya.
Akan tetapi, bukan berarti hal itu melegalkan seorang mahasiswa yang belajar terus menerus dan meninggalkan kehidupan bersosialisasi dan keorganisasian. Belajar saja tidaklah menjamin masa depan dari seseorang karena banyak aspek lain yang dibutuhkan untuk mencapai sukses. Karena itulah timbul berbagai teori di samping IQ seperti EQ, SQ, maupun lain-lainnya. Oleh karena itu, walau belajar sudah menyita 70% waktu kita, 30% sisa waktu yang ada seharusnya dimanfaatkan untuk dua hal lainnya.
Berorganisasi atau Bersosialisasi
            Seringkali orang-orang menganggap bahwa berorganisasi sama saja dengan bersosialisasi. Walaupun tidak bisa dibilang salah, secara pribadi, berorganisasi tidaklah sama dengan bersosialisasi. Cara pandang dalam suatu masalah dari orang yang terlalu terjun ke sebuah organisasi secara tidak langsung akan sesuai dengan cara pandang organisasi dalam masalah tersebut. Perbedaannya dari orang yang bersosialisasi dengan berbagai jenis orang, mereka akan mendapat perspektif dari masalah tersebut dari berbagai sudut pandang. Jadi baik berorganisasi maupun bersosialisasi masing-masing ada sisi positifnya masing-masing.
Dalam kehidupan berorganisasi, sering kali mahasiswa dituntut untuk terjun secara langsung dan total dalam kehidupan berorganisasi. Bisa saja mahasiswa hanya sesekali berkumpul dengan organisasinya, akan tetapi tentu saja posisi yang dicapai tidak dapat mencapai posisi yang ‘strategis’. Untuk mencapai posisi tertinggi, contohnya Ketua Himpunan, seorang mahasiswa dituntut untuk secara total mencurahkan perhatiannya dalam kepentingan-kepentingan himpunan. Tentu saja diharapkan pengalaman ini dapat bermanfaat dalam kehidupan berorganisasi yang akan dialami di pekerjaan yang akan datang. Akan tetapi, sering kali karena terlalu mendalami organisasi tersebut, seseorang akan menjadi terlalu memprioritaskan kepentingan organisasi dan melihat segala sesuatu dari ‘kacamata’ sang organisasi. Hal itu tidaklah terlalu menyenangkan bagi orang-orang dengan kepentingan yang lain.
Sedangkan dalam bersosialisasi, keuntungan yang bisa didapatkan adalah kita bisa memiliki networkingyang kelak diharapkan bisa bermanfaat di masa yang akan datang. Dan juga cara pandang kita dalam memahami suatu problema tidak akan terlalu terkotak-kotak. Sebuah problem tidak selalu harus diselesaikan dengan cara A, akan tetapi ada juga cara penyelesaian B atau C. Tentu saja bersosialisasi sangatlah menyenangkan dan jika memungkinkan, 100% waktu kita dengan sangat senang hati ingin kita curahkan untuk bersosialisasi. Akan tetapi komitmen dan tanggung jawab hanya dapat dilatih jika kita mau mencurahkan waktu kita dalam kehidupan berorganisasi atau berjuang mencapai prestasi tertentu.
Mahasiswa Tidak Ada Yang Sempurna
Sebagai seorang mahasiswa, tidaklah mungkin kita menjadi sosok yang patut disebut sebagai mahasiswa yang sempurna. Bisa saja kita membagi secara rata waktu kita untuk ketiga hal tersebut, akan tetapi untuk menjadi yang terbaik di ketiga hal tersebut hampir tidak mungkin, kecuali mahasiswa tersebut adalah seorang jenius yang bisa mencapai prestasi akademik tertinggi dengan hanya sedikit belajar, tentu saja sisa waktunya bisa digunakan untuk berorganisasi atau bersosialisasi.
Membaca beberapa waktu yang lalu bagaimana seorang mahasiswa melakukan tindakan bunuh diri karena stress, secara pribadi saya merasa prihatin. Bunuh diri bukanlah tindakan yang bijak karena walau segala sesuatu terasa begitu kacau sekarang, kita tidak akan tahu bagaimana keadaan mungkin akan berbalik seratus delapan puluh derajat beberapa saat yang akan datang.
Mahasiswa diharapkan secara masak-masak untuk memikirkan apa yang menurut mereka paling baik untuk masa depan mereka. Jangan takut untuk melakukan kesalahan karena lebih baik melakukan kesalahan sekarang dan belajar daripada terlambat di masa yang akan datang. Untuk para orang tua, janganlah menuntut terlalu banyak dari anak-anaknya. Menjadi seorang mahasiswa yang sempurna hampir mustahil untuk dilakukan, akan tetapi kami, para mahasiswa, sedang berjuang untuk mencoba mencapai hal tersebut. Yang kami butuhkan adalah dukungan dari orang tua

0 komentar:

Posting Komentar